Saya selalu mengagumi Emha Ainun Najib. Begitu pula dengan Sabrang Mowo Damar Panuluh,putranya.
Idul fitri, Lebaran, Hari kemenangan. Jika memang menang, pernahkan anda bertanya hari itu kita menang melawan siapa/apa? Jawaban yang biasa saya dapatkan adalah kemenangan melawan hawa nafsu kita sendiri. Sebenarnya jawaban itu justru menimbulkan pertanyaan berikutnya. Jika ada kemenangan, adakah kesempatan untuk kalah? adakah orang-orang yang tidak berhak ikut merayakan kemenangan karena dia kalah ?
Pertanyaan kedua adalah, jika memang hawa nafsu harus kita bendung, kita kalahkan, lalu kenapa Tuhan ‘iseng-iseng’ memberi manusia sifat intrinsic yang bernama hawa nafsu tersebut ?. Pertanyaan ‘iseng’ itu pernah berputar-putar di kepala saya dengan ending yang sangat berharga. Satu lagi makna dari hari lebaran.
Dari berbagai jenis nafsu, nafsu terhadap makanan/minuman adalah yang paling mudah diidentifikasi. Tidak membutuhkan banyak koordinasi indrawi dan fikiran untuk melaksanakannya. Asal cara memuaskannya adalah melewati mulut, dialah nafsu makan itu. Karena pada dasarnya anatomi semua nafsu itu adalah hampir senada, Tuhan bermurah hati memberi kita kewajiban untuk berpuasa, menahan tidak makan dan minum selama masih ada matahari, salah satunya agar kita lebih memahami apa itu yang namanya nafsu. Dari pelajaran dasar ini kita diberi bekal untuk menghadapi dan memawangi nafsu-nafsu yang lain. Mungkin dengan sedikit bonus yaitu memahami fungsi nafsu.
Waktu itu saya memulai puasa dengan sahur segelas air, tanpa yang lain. Bukan hebat atau pengen tes keampuhan tubuh, tapi memang karena telat bangun. Dengan bekal terakhir sepiring nasi ketika berbuka puasa hari sebelumnya, imajinasi tentang puasa hari itu serasa begitu mengerikan. Pasti ngga kuat lah, pasti lemas luar biasa lah dst dst. Tapi saya bertekad mau mencoba melaksanakannya sekuat mungkin, saya pikir belum ada orang mati karena puasa. Jadi, hajar saja.
Puasa hari itu berjalan amat sangat lambat. Mulai bedug tengah hari fikiranku amat sangat susah lepas dari kondisi perut. Semakin saya coba mengalihkan, semakin keras panggilan perut. Dengan susah payah jam demi jam, menit demi menit saya lewati. Waktu serasa berjalan begitu lambat. Satu jam terakhir sebelum berbuka saya memutuskan, tidak akan mencari pengalih perhatian, tidak akan menyibukkan diri, akan saya hadapi face-to-face yang namanya kelaparan ini.
Satu jam terakhir ini waktu berjalan luar biasa lambat, 5 menit serasa 1 jam, amaat sangaat lambaat. Tapi saya juga menyadari hal lain, ketika waktu berjalan lambat, segala sesuatu yang terjadi disekitar menjadi lebih terang, lebih detail. Panca indra semakin sensitif dan segala sesuatu seperti in slow motion. Saya seperti dihadapkan kepada dunia yang sama sekali baru. Sehelai daun kering yang jatuh dari pohon menjadi begitu berharga dan indahnya. Tidak ada yang instant, semua hal terjadi karena alasan. Dan semua alasan terjadi karena adanya tujuan. Dan semua tujuan terjadi karena adanya kepentingan. Dan kepentingan .... (wah bisa ngga selesai ini kalo diteruskan, beginilah orang nulis ketika puasa tanpa sahur).
Nafsu yang tertahan membuatku melihat dunia yang sama sekali baru. Inspirasi datang di setiap tikungan, makna bermunculan di setiap kejadian, syukur terjadi di setiap kedipan. Tuhan menciptakan nafsu bukan untuk menyiksa kita. Nafsu dibuat untuk menjadi alat agar kita lebih memahami sekitar kita, dunia, ciptaannya, dan Dia yang maha. Nafsu adalah alat untuk kembali ke fitrah kita, dengan menaklukannya.
Lebaran adalah hari kemenangan dimana kita dibebaskan dari dunia yang hanya sekedipan mata, yang hanya instant dan tanpa makna. Kewajiban untuk merekapitulasi apa yang telah kita dapatkan dengan menaklukkan satu jenis nafsu dalam satu bulan. Bayangkan apa yang bisa kita dapatkan dengan menaklukkan semua jenis nafsu sepanjang tahunnya. (18 September 2009). Sabrang Mowo Damar Panuluh.
Comments
Post a Comment